Proyek Penataan PPS Sumedang: Cantik di Luar, Bobrok di Dalam?
Sumedang,Lin24news.com-Ketika pemerintah bicara soal "mempercantik wajah kota", publik sebaiknya tidak langsung terbuai. Di balik istilah manis dan kata-kata penuh estetika itu, sering tersembunyi praktik kekuasaan yang sewenang-wenang, pengabaian prosedur, dan pelanggaran hukum. Kasus rencana penataan kawasan Pusat Pemerintahan Sumedang (PPS) adalah contoh nyata bagaimana proyek "kecantikan" bisa menyimpan potensi kebobrokan.
Mulut berbicara taman, trotoar, dan CSR. Tapi tangan sudah membongkar pagar sebelum ada dokumen teknis resmi. Ini bukan pembangunan. Ini ketidakpatuhan.
Proyek Pemerintah Bukan Mainan Bupati
Mari kita luruskan satu hal: proyek penataan kawasan pemerintahan bukan proyek pribadi. Ini bukan rumah pribadi bupati yang bisa dibongkar dan dihias sesuka hati. Ini wilayah publik yang dikelola oleh negara dan dibiayai oleh rakyat. Maka setiap langkah—dari pembongkaran pagar sampai pembangunan taman—wajib tunduk pada hukum.
Kalau proyek sudah mulai dijalankan sementara Detailed Engineering Design (DED) belum rampung, itu pelanggaran. Jika pembongkaran dibiayai dari “uang pribadi”, itu lebih parah lagi. Pemerintahan tidak boleh berjalan dengan logika feodalisme: asal perintah atasan, langsung laksanakan. Kita tidak sedang mengelola kerajaan. Kita menjalankan pemerintahan demokratis yang wajib transparan, terencana, dan akuntabel.
Uang Pribadi untuk Proyek Publik? Bahaya!
Kalimat “pakai uang pribadi dulu” terdengar seolah mulia. Padahal ini jebakan berbahaya. Dari sisi hukum, pengeluaran uang pribadi untuk pekerjaan pemerintah membuka celah gratifikasi. Dan lebih penting lagi, hal ini memotong jalur perencanaan dan pengawasan yang sudah diatur dalam Undang-Undang.
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Permendagri No. 86 Tahun 2017 dengan jelas menyatakan, seluruh program pembangunan wajib masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah. Ada tahapan: usulan, musyawarah, dokumen rencana (RPJMD, RKPD), penyesuaian anggaran, sampai lelang terbuka. Jika semua itu dilewati hanya karena "perintah bupati", maka kita sedang menyuburkan otoritarianisme dalam wajah pemerintahan daerah.
CSR: Bukan Kotak Amal Pejabat
Lalu muncul dalih bahwa proyek ini dibiayai dari dana CSR. Sekilas tampak aman. Tapi jangan keliru. CSR bukan “uang bebas” yang bisa digunakan sesuka hati pejabat. CSR tetap harus melalui perencanaan, persetujuan publik, dan transparansi penggunaannya. Jika tidak, maka ini hanya modus lain untuk membungkus proyek asal jadi tanpa pertanggungjawaban hukum.
Apakah ada keterlibatan DPRD dalam pengawasan rencana ini? Apakah masyarakat tahu seperti apa bentuk taman, biaya pembangunan trotoar, dan pihak mana yang akan mengerjakan? Atau semua sudah diatur secara sepihak?
Kepala Dinas Harus Berpikir, Bukan Sekadar Patuh
Satu hal yang mengkhawatirkan: pernyataan dari Kepala Dinas Cipta Karya yang seolah tanpa keraguan menerima perintah bupati dan langsung bergerak. Tak ada resistensi, tak ada kajian, tak ada keberanian untuk berkata, “Sebaiknya tunggu dulu sampai dokumen lengkap.” Apa gunanya jabatan teknis jika tidak dipakai untuk mengingatkan pimpinan ketika jalur sudah keluar dari rel?
Seorang pejabat struktural wajib mengingatkan pimpinan, bukan hanya menjadi tukang eksekusi titah. Jika seluruh birokrasi berubah menjadi "yes man", maka yang terjadi bukan pembangunan, tapi kultus individu. Dan itu adalah pengkhianatan terhadap prinsip demokrasi dan profesionalisme birokrasi.
Penataan Wajah, Pembusukan Prosedur
Apa bedanya pembangunan dan pembusukan? Prosedur. Ketika pembangunan dilakukan dengan melanggar tahapan hukum, maka hasilnya bukan hanya taman dan trotoar, tapi kerusakan tatanan. Kerusakan pada sistem hukum, kerusakan pada budaya kerja birokrasi, dan kerusakan pada kepercayaan publik.
Masyarakat Sumedang tak butuh PPS yang cantik di luar tapi korup di dalam. Kita butuh birokrasi yang jujur, patuh hukum, dan berani menegakkan aturan bahkan di hadapan bupati sekalipun.
Penutup: Kembalikan Akal Sehat Pemerintahan
Pemerintahan bukan panggung dekorasi untuk memuaskan mata penguasa. Ini soal tata kelola, akuntabilitas, dan keberanian untuk berkata “tidak” ketika hukum dilanggar.
Jika proyek penataan PPS benar dimulai tanpa dasar hukum yang sah, maka ini bukan kemajuan. Ini kemunduran. Dan publik berhak marah.
-diki ns
Komentar
Posting Komentar